Minggu, 06 Juni 2010

Menyelamatkan Tari Kraton dari Kepunahan




TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Jarum jam telah melewati tengah malam. Puluhan orang yang berada di pendopo Ndalem Mangkubumen, Kompleks Universitas Widya Mataram, Kamis (27/5) malam, terlihat berusaha melawan kantuk. Mereka tak rela adegan-adegan Beksan Etheng yang tengah diperagakan 12 orang penari laki-laki itu, terlewatkan.

Beksan Etheng yang dipentaskan malam itu memang tergolong istimewa. Itu sebabnya, puluhan orang yang berkumpul di Pendopo Ndalem Mangkubumen tak ingin kalah oleh rasa kantuk meski waktu telah bergerak ke dini hari. Tari ciptaan Sultan Hamengku Buwono I di abad 18 itu memang sudah sangat jarang dipentaskan.

“Beksan Etheng ini terakhir dipentaskan di Taman Ismail Marzuki di Jakarta, tahun 1974. Kebetulan, saya salah satu penarinya waktu itu,” kata RM Dinusatomo, pemimpin Yayasan Siswa Among Beksa, sebuah lembaga pelatihan tari di lingkungan keraton Yogya.

Etheng adalah jenis permainan anak-anak di Jawa, mengadu dua kelompok anak dengan taruhan sesuatu. Karena itu, gerak Beksan Etheng lebih mencerminkan kegembiraan anak-anak yang sedang bermain. Beksan Etheng dimainkan oleh 12 penari, masing-masing empat penari putra halus, empat penari putra gagah dan empat penari putra badut. Para penari juga berdialog dengan bahasa Bagongan, bahasa yang berlaku di lingkungan keraton Yogya.

Meski berlangsung di kompleks Universitas Widya Mataram, namun tuan rumah pementasan itu sebenarnya adalah Taman Budaya Yogyakarta. Malam itu, Taman Budaya Yogyakarta sedang mendokumentasikan tari-tari klasik Kraton Yogya ke dalam rekaman audio visual. Selain Beksan Etheng, ada dua tari lain yang juga didokumentasikan yakni Tari Golek Lambang Sari (ciptaan KRT Purbaningrat) dan Tari Golek Pucung Kethoprak (ciptaan Pangeran Mangkubumi, putra Sultan Hamengku Buwono VI).

Menurut RM Dinusatomo, tari Golek Pucung Kethoprak maupun Tari Golek Lambangsari menggambarkan remaja putri yang sedang bersolek. “Bedanya, gerak-gerak tari Golek Lambangsari adalah khas tari keraton, sementara tari Golek Pucung Kethoprak memasukkan unsur gerak kesenian rakyat,” jelasnya.

Taman Budaya Yogyakarta mendokumentasikan kesenian langka sejak tahun 1978. Tidak hanya tari klasik Keraton Yogya dan Pura Pakualaman, juga kesenian rakyat yang sudah terancam punah. “Dokumentasi dilakukan dua kali dalam setahun, dengan dana APBD,” jelas Dyan Anggraeni, Kepala Taman Budaya Yogyakarta, saat ditemui di sela-sela pementasan.

Menurut Dyan Anggraeni, upaya pendokumentasian ini selain terkendala oleh dana, juga makin langkanya nara sumber tari keraton. “Naskah tari keraton masih banyak tersimpan di perpustakaan keraton. Namun, untuk menjabarkannya menjadi sebuah pertunjukan di atas panggung secara benar, sesuai dengan kehendak penciptanya, bukan pekerjaan gampang,” katanya.

Seluruh rekaman kesenian langka itu kemudian dimanfaatkan Taman Budaya Yogyakarta sebagai bahan studi bagi para siswa Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Dengan demikian, kata Dyan Anggraeni, Taman Budaya Yogyakarta telah berperan menyelamatkan kesenian langka dari ancaman kepunahan.

Dinusatomo mendukung penuh upaya yang dilakukan Taman Budaya Yogyakarta. Menurutnya, upaya Taman Budaya Yogyakarta itu tidak hanya harus didukung dengan dana APBD namun juga dana APBN. “Sebab, masih banyak tari keraton yang belum terdokumentasi. Padahal, pendokumentasian ini butuh dana besar, sehingga dukungan dana APBD saja tidak akan cukup,” katanya.

Menurut Dinusatomo, paling tidak ada 20 bedaya Kraton serta sekitar 20 tari Serimpi berbagai jenis yang hingga saat ini belum terdokumentasi. Jika tidak segera didokumentasikan, dikhawatirkan akan punah. Belum lagi belasan tari untuk laki-laki yang juga terancam punah. Dinusatomo menyebut sejumlah tari ciptaan Sultan Hamengku Buwono I diantaranya Tari Guntur Segoro, tari Tugu Wasesa, Tari Sukar Meduro, Tari Lawung Alus dan Beksan Jebeng.

0 komentar:

Posting Komentar