Kamis, 17 Juni 2010

Deteksi Dini Gejala Autisme



PENYEBAB autisme hingga kini masih menjadi misteri. Meski demikian, orangtua harus mampu mengenali gejala autisme pada anak. Deteksi dini dapat memberi hasil terbaik bagi perkembangan anak autis.

Sampai sekarang belum ada satupun pihak yang mengetahui secara pasti perihal penyebab autisme yang terjadi pada anak. Banyak isu yang berkembang mengenai sebab penyakit ini dan belum dapat dibuktikan kebenarannya. Kendati demikian, bukan berarti orangtua hanya dapat berpangku tangan menunggu anak tumbuh besar sampai akhirnya diketahui sang anak merupakan salah satu di antara penderita autis.

Menurut Neurolog Anak Dr Hardiono Pusponegoro SpA(K), perang orangtua sangat penting dalam upaya deteksi awal gejala autisme pada anak. “Orangtua harus mewaspadai bila dalam masa awal pertumbuhan bayi mulai menunjukkan gejala autisme,” kata Hardiono dalam acara ”Autism Now” di FX Lifestyle Center, baru-baru ini.

Terdapat beberapa gejala gangguan pada bayi di awal-awal tahun kehidupan mereka. Di antarnya tidak ada babbling, tidak dapat menunjuk dengan jari, atau mimik yang kurang pada usia 12 bulan. Memasuki usia 16 bulan, anak mengeluarkan kata-kata yang tidak bermakna, berbeda dengan anak lain seusianya. Kemudian menginjak usia 24 bulan, anak austis biasanya tidak mampu mengatakan kalimat yang terdiri atas dua kata yang dapat dimengerti. Sementara pada setiap umurnya, anak autis kehilangan kemampuan berbicara atau kemampuan sosial.

“Gejala-gejala ini merupakan tanda bahaya (red flags) yang memberi informasi kepada orangtua bahwa anak kemungkinan besar mengidap autism,” tutur Hardiono lagi. Untuk memastikan hal ini, ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan. Langkah pertama adalah skrining tanpa instrumen yang dinilai mampu mendeteksi lebih jauh gejala autisme anak. Skrining dapat dilakukan oleh orangtua, pendidik, dan tenaga ahli. Berikutnya, diagnosa oleh psikolog dan dilanjutkan dengan asesmen yang dapat dijalani oleh dokter, psikiater, psikolog, terapis, dan guru.

Jika diagnosis membuktikan anak mengalami gejala autisme seperti gangguan perilaku, interaksi, dan komunikasi, maka perlu segera dilakukan terapi. Gangguan perilaku pada anak autis seperti hiperaktif, tantrum, menggigit, menjambak, merusak, hingga masturbasi. Sedangkan gangguan interaksi seperti tidak melakukan kontak mata, tidak bermain dengan teman sebaya, tidak berbagi kesenangan, dan kurangnya interaksi sosial timbal balik. Adapun gangguan komunikasi sangat bervariasi, mulai dari keterlambatan bicara, tidak bicara, gangguan kualitas bicara atau bicara tidak lama, pengulangan kata atau kalimat, hingga bicara yang tidak dapat dimengerti.

Pemberian terapi dan edukasi yang tepat akan memperbaiki anak autis. “Makin lama saya bekerja dengan pasien autisme, makin saya yakin bahwa sebagian besar pasien tidak butuh obat. Melainkan terapi dan edukasi yang baik,” imbuh Hardiono. Terapi obat diberikan hanya apabila anak berperilaku maladaptif seperti agresif, repetitif, menyakiti diri sendiri, mengalami gangguan tidur atau hiperaktif, atau memiliki penyakit penyerta lainnya umpamanya epilepsi dan kejang.

Jika anak positif terdeteksi mengidap autis, Hardiono menjelaskan, perlunya terapi untuk membantu sesuai kebutuhan anak. “Seperti terapi integrasi, floor time, terapi perilaku serta melibatkan orang tua serta edukasi yang tepat membantu anak mengatasi keadaan dalam dirinya sesuai usia,” katanya.

Pakar Pendidikan Anak, Prof Dr Eric Lim, juga menekankan pentingnya intervensi dini. Hal ini sebagai upaya penyiapan program pendampingan khusus.


Okezone.com

0 komentar:

Posting Komentar